Nasional

Kisah Guru di Pedalaman Kalimantan, Jalan Kaki 10 Km per Hari dan Diganggu Hewan Liar Demi Mengajar

Kisah Guru Honorer di Pedalaman Kalimantan, Jalan Kaki 10 Km / Hari dan Diganggu Hewan Liar Demi Mengajar

Editor: eko darmoko
Kompas.com
Berta Bua'dera guru honorer di SD Filial 004, Kampung Berambai, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. 

“Kalau jalan sudah terlalu capek kadang lapar, saya makan di perjalanan. Istirahat sebentar makan dulu, baru lanjut jalan lagi,” tutur Berta.

“Karena jalan siang itu lebih cepat capek ketimbang pagi hari. Karena itu, sampai rumah agak lambat,” kata Berta.

Begitu tiba di rumah, Berta mengaku langsung tertidur karena lelah. Ia sudah tak sempat membantu suami di kebun ataupun mengurusi dapur.

“Setelah bangun baru masak-masak,” ucap Berta.

Rumah tanpa penerangan

Saat ini Berta dan suaminya tinggal di pondok milik warga yang jaraknya kurang 2 kilometer dari sekolah.

Tak ada listrik di rumah ini, keduanya menggunakan penerangan lampu pelita di malam hari.

“Sebenarnya masih jauh juga, tapi daripada lima kilo, lebih baik satu kilo lebih," tutur Berta.

Pondok yang kini ditempati Berta bersama suaminya terbuat dari kayu.

Tampak banyak anjing peliharaan yang menjadi penjaga pondok. Suami Berta membuka kebun ubi-ubian di sekitar pondok.

Menuju pondok ini, Berta masih menyusuri jalan yang sama, tetapi lebih dekat dari jarak sebelumnya.

Dia memotong jalan melintasi bukit bebatuan, menuruni tanjakan, dan melintasi beberapa kebun warga.

“Di tempat yang batu-batu itu ada ular. Sepertinya berada di lubang-lubang batu. Saya pernah lihat besar sekali. Saya paling takut lewat di situ, tapi itu cuma-cuma satu-satunya jalan,” terang Berta.

Beratnya medan ini kadang membuat Berta putus asa. Berta mengaku sempat terlintas di benaknya ingin berhenti mengajar dan fokus membantu suami menjual hasil kebun di pasar.

Namun, saat membayangkan wajah anak muridnya, Berta kembali luluh. Ia tak tega meninggalkan anak-anak di sekolah tersebut.

“Saya kadang capek jalan kaki. Makin tua, sudah tidak kuat lagi, saya hampir menyerah, tapi kasihan anak-anak,” kenang Berta.

Karena alasan itu, Berta bertahan mengajar hingga saat ini, meski tiap hari harus berjalan kaki menuju sekolah.

Mengajar di tiga kelas

Di sekolah itu, Berta mengajar murid kelas I, II dan III. Jumlah murid tiga kelas ini tujuh orang, yang terdiri dari kelas I tiga orang, kelas II satu orang, dan kelas III tiga orang.

Murid tiga kelas ini digabung dalam satu ruang kelas dan Berta ditunjuk sebagai wali kelas.

Sementara itu, tiga kelas lainnya, yaitu IV, V, dan VI, wali kelasnya adalah Herpina (27).

Sekolah ini hanya punya dua guru honor, yakni Berta dan Herpina, dengan jumlah 17 murid.

Karena gedung sekolah hanya punya dua ruang kelas, masing-masing ruang ditempati tiga kelas.

Tempat duduk para murid dipisah berdasarkan tingkatan kelas. Melihat kondisi sekolah tempat Berta mengajar jauh dari kesan layak.

Terlihat seng atap ruang kelas yang penuh karat ditambah keramik dan fondasi bagian belakang gedung yang sudah retak.

Bangunan berusia 25 tahun ini jadi satu-satunya bangunan beton di kampung ini.

Sekolah ini induknya di SDN 004 di Kota Samarinda. SD Filial dibangun Pemkot Samarinda untuk kegiatan belajar mengajar anak-anak di kampung ini.

Sebab, letak kampungnya jauh dari sarana pendidikan. Jarak Samarinda menuju kampung ini sekitar 25 kilometer.

Kampung yang dihuni sejak 1982 memiliki luas sekitar 11 hektar.

Kini, sudah ada 64 kepala keluarga yang bermukim di kampung ini yang rata-rata berprofesi bertani dan berkebun.

Tahun 2000-an, Pemkot Samarinda memasukkan kampung jadi wilayah administrasi Samarinda karena beberapa RT dinilai lebih dekat.

Pemkot Samarinda juga membuka jalan penghubung menuju kampung ini dari Samarinda melewati jalur Batu Besaung.

Namun, belakangan proyek semenisasi jalan disetop dan muncul tarik ulur perebutan wilayah dengan Pemkab Kutai Kertanegara

Konflik berakhir pada 2012 setelah Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak kala itu mengeluarkan SK Nomor 136/590/BKPW-C/I/2012 tentang kepemilikan wilayah oleh Pemkab Kutai Kartanegara.

Keputusan ini memberi konsekuensi nasib SDN Filial.

Aset gedung sekolah dipunyai oleh Pemkot Samarinda, tetapi lahan milik Pemkab Kutai Kertanegara.

Sampai saat ini kasus itu masih menggantung. Pemkot Samarinda mengaku khawatir perbaikan gedung sekolah karena aset berdiri di lahan Pemkab Kukar.

Terlepas dari polemik kepemilikan lahan, letak sekolah yang jauh dan akses masuk yang sulit membuat guru-guru yang mengajar di sekolah ini tidak bertahan lama. Berta mengaku, ia tak bisa berharap banyak dari pemerintah soal peningkatan status.

“Mau tes PNS umur sudah tua. Tidak ada kesempatan lagi, jadi jalani saja saat ini,” ungkap Berta pasrah.

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved