Tolak Kenaikan PBB

Terinspirasi Demo Pati, Warga Jombang dan Kota Cirebon Ancang-ancang Protes Kenaikan PBB

Warga Kabupaten Jombang, Jawa Timur dan Kota Cirebon, Jawa Barat terinspirasi demo besar-besaran di Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025).

Editor: iksan fauzi
SURYAMALANG.COM/Anggit Pujie Widodo/Dok.Tribun Jabar/Eki Yulianto/Dok.Pemkab Pati
KENAIKAN PBB : Wali Kota Cirebon Effendi Edo (kiri), Bupati Pati Sudewo (tengah) dan Bupati Jombang Warsubi (kanan). Setelah terjadi demo besar-besaran di Pati menolak kenaikan PBB, warga Jombang dan Kota Cirebon ancang-ancang protes kenaikan PBB di masing-masing daerahnya. 

Dari sekitar 700 ribu Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang beredar, separuh mengalami kenaikan, sedangkan sisanya justru turun.

Beberapa objek pajak bahkan tercatat naik hingga ribuan persen.

Hartono menjelaskan, perubahan tarif tersebut dipicu oleh penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdasarkan survei tim appraisal pada 2022. 

Namun, hasil penilaian pihak ketiga itu ternyata tidak selalu selaras dengan kondisi nyata di lapangan.

“Sejak tahun ini kami melibatkan pemerintah desa untuk mendata ulang NJOP secara menyeluruh. Prosesnya ditargetkan selesai November 2024,” ungkapnya.

Meski begitu, hasil pendataan baru bisa digunakan untuk menghitung PBB tahun 2026.

Artinya, untuk 2024 dan 2025, warga tetap akan membayar pajak sesuai perhitungan lama yang dinilai bermasalah.

Kondisi ini membuat masyarakat berharap pemerintah daerah bergerak cepat agar beban pajak tak semakin memberatkan.

Aksi protes juga pernah dilayangkan ke Kantor Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Jombang pada Senin (11/8/2025). 

Kantor Bapenda dipenuhi ratusan koin yang dibawa warga sebagai bentuk protes atas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).

Sejumlah warga mengaku keberatan karena tarif pajak melonjak drastis sejak 2024.

Kenaikan tersebut, menurut mereka, terlalu besar dan membebani perekonomian rumah tangga.

Salah satunya dialami Joko Fattah Rochim, warga Kecamatan Jombang, yang pajaknya naik dari Rp 300 ribu menjadi Rp 1,2 juta.

Untuk melunasi kewajiban itu, ia memecahkan celengan koin milik anaknya yang telah dikumpulkan sejak duduk di bangku SMP.

“Kalau naik sedikit itu wajar, tapi dari Rp 300 ribu langsung jadi Rp 1 juta lebih, jelas memberatkan. Uang ini hasil tabungan anak saya, tidak ada niat tawar-menawar pajak, hanya ingin membayar sesuai ketentuan,” ucap Fattah. 

Kasus serupa dialami Munaji Prajitno dari Desa Sengon, dengan kenaikan hingga 1.202 persen pada salah satu objek pajaknya.

Hartono membenarkan bahwa penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) hasil survei appraisal tahun 2022 menjadi pemicu utama kenaikan, meski ia mengakui data di sejumlah titik tidak sepenuhnya sesuai kondisi lapangan.

Pendataan ulang NJOP telah dilakukan pada 2024 dan akan berlaku mulai 2026.

“Pendataan selesai November 2024, tapi belum bisa diterapkan di 2025. Jadi tarif tahun ini masih sama dengan tahun lalu,” ungkapnya.

Data Bapenda menunjukkan adanya lonjakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor PBB P2.

Pada 2023, realisasi penerimaan mencapai Rp 42.921.835.053 dari target Rp 43.208.802.624 atau 99 persen dari target. 

Tahun 2024 realisasi PBB P2 sebesar Rp 51.613.332.991 dari target Rp 56.078.692.627 atau 92 persen dari target.  

Serta terjadi kenaikan pendapatan sebesar Rp 8.691.497.938 dari tahun 2023.

Kemudian untuk realisasi pendapatan daerah dari PBB P2 tahun 2025 Sebesar 89 persen atau Rp 52.882.580.014 dari target Rp 59.231.188.664.

Capaian hingga bulan Agustus 2025 melonjak Rp 9.900.744.961 dari tahun 2023 lalu. 

“Peningkatan PAD ini memang berkaitan langsung dengan kenaikan tarif PBB P2 sejak tahun lalu,” pungkas Hartono. 

Respons Bupati Jombang

Menanggapi polemik tersebut, Bupati Jombang Warsubi menegaskan kebijakan kenaikan PBB bukanlah hasil keputusan pribadinya, melainkan pelaksanaan aturan yang telah disahkan sebelum dirinya menjabat.

Warsubi menjelaskan, kenaikan PBB P2 merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang diterapkan mulai 2024. 

“Saya hanya melanjutkan kebijakan yang sudah ada. Fokus kami sekarang adalah mencari solusi bagi warga yang merasa keberatan,” ucapnya, Kamis (14/8/2025).

Untuk merespons keluhan, Pemkab Jombang membentuk tim khusus yang bertugas memproses pengajuan keringanan pajak.

Warga bisa mengajukan permohonan melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda).

Berdasarkan data Bapenda, pada 2024 tercatat 12.864 nomor objek pajak (NOP) mengajukan keberatan, 3.826 di antaranya permohonan perorangan dan 9.038 kolektif desa. 

Hingga Agustus 2025, ada tambahan 4.171 NOP yang mengajukan keberatan, terdiri dari 1.596 perorangan dan 2.575 kolektif desa.

Kepala Bapenda Jombang Hartono menyampaikan, verifikasi keringanan dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi pemohon. 

Penilaian mencakup biaya listrik, pengeluaran rumah tangga, pendapatan, hingga status sosial seperti pekerja harian atau janda.

Namun, di lapangan, lonjakan tarif ini tetap membuat banyak warga terkejut.

Terpisah, Direktur Lingkar Indonesia Jombang, Aan Anshori ikut menyoroti kenaikan PBB tersebut. 

Aan menilai Bupati Jombang tak bisa lepas tangan, dengan alasan kebijakan tersebut merupakan warisan pemerintahan sebelumnya.

Aan menegaskan, pemimpin saat ini dipilih oleh rakyat, bukan oleh rezim lama.

 “Warsubi dan K.H Salmanudin Yazid atau Gus Salman dipilih warga Jombang. Saat ini rakyat menjerit akibat kenaikan PBB, dan mereka harus bertanggung jawab,” ucapnya saat dikonfirmasi melalui sambungan seluler pada Kamis.

Menurutnya, kondisi ini menjadi momen penting bagi kepala daerah dan wakilnya untuk menunjukkan keberpihakan pada masyarakat.

Ia mempertanyakan, apakah mereka akan mengakomodasi aspirasi warga atau meneruskan kebijakan lama yang dinilai memberatkan.

“Di sinilah ujian mereka. Apakah setia pada rakyat atau justru pada kebijakan rezim sebelumnya yang mencekik lewat kenaikan pajak fantastis,” kata Aan melanjutkan. 

Ia mendesak Pemkab Jombang mengembalikan tarif PBB mulai 2026 ke besaran sebelum kenaikan.

Jika tidak, Aan mengingatkan potensi perlawanan warga seperti aksi penolakan PBB di Kabupaten Pati. 

“Kalau tidak, rakyat Jombang akan bergerak sebagaimana rakyat Pati,” tegasnya.

Tak hanya itu, Aan juga menyoroti peran DPRD Jombang.

Ia mengingatkan agar wakil rakyat tidak sekadar menjadi stempel kebijakan eksekutif. 

“DPRD harus berpihak pada warga yang menolak kenaikan PBB, bukan terus mengamini keputusan bupati,” pungkasnya.

Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) di Kabupaten Jombang tahun 2024 membuat sejumlah warga kelimpungan.

Di beberapa kasus, lonjakan mencapai lebih dari seribu persen.

Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved