Tolak Kenaikan PBB
Terinspirasi Demo Pati, Warga Jombang dan Kota Cirebon Ancang-ancang Protes Kenaikan PBB
Warga Kabupaten Jombang, Jawa Timur dan Kota Cirebon, Jawa Barat terinspirasi demo besar-besaran di Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025).
SURYAMALANG.COM | CIREBON - Warga Kabupaten Jombang, Jawa Timur dan Kota Cirebon, Jawa Barat terinspirasi demo besar-besaran di Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025).
Warga di tiga daerah tersebut memiliki masalah sama, yakni masing-masing pemerintah daerah setempat menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Di Pati, meski Bupati Sudewo membatalkan kebijakan kenaikan PBB yang mencapai 250 persen, tetap didemo oleh warganya sendiri.
Bahkan, demo warga Pati kemarin menjadi perhatian nasional hingga pihak Istana Negara Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pun meresponsnya.
Bukan hanya itu, demo besar-besaran menolak kebijakan Bupati Sudewo tersebut memunculkan Pansus Hak Angket DPRD Pati.
Pansus Hak Angket DPRD Pati mulai bekerja Kamis (14/8/2025) untuk menyelidiki kinerja Bupati Sudewo.
Hari pertama bekerja, Pansus Hak Angket DPRD Pati memanggil para korban PHK RSUD Soewondo.
Mereka dinilai salah satu korban atas kebijakan Bupati Sudewo yang juga dikeluhkan warga Pati.
Demo Pati yang dipekirakan dihadiri puluhan ribu orang itu menyebabkan sejumlah fasilitas publik rusak dan belasan korban mengalami luka.
Baca juga: Dengarkan Curkan Eks Pegawai RSUD Soewondo yang Dipecat, Pansus Pemakzulan Bupati Pati Gerak Cepat
Rupanya, kenaikan PBB bukan hanya terjadi di Kabupaten Pati saja, Pemerintah Kota Cirebon dan Kabupaten Jombang juga turut menaikkan PBB.
Di Kota Cirebon, warganya memprotes kenaikan PBB tersebut lantaran besarannya kisaran 150 persen hingga 1.000 persen.
Kenaikan sebesar itu membuat warga membentuk aliansi untuk menolak kebijakan Pemerintah Kota Cirebon.
Mereka mencontoh demo warga Pati yang sebelum menggelar aksi membuka posko partisipasi dari masyarakat.
Puluhan warga yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon kembali berkumpul di sebuah rumah makan di Jalan Raya Bypass, Rabu (13/8/2025) malam.
Mereka menegaskan tuntutan agar kenaikan PBB dibatalkan.
Ia mengatakan perjuangan warga Kota Cirebon menolak kenaikan PBB sudah berlangsung lama, yakni sejak Januari 2024.
Baca juga: 5 Pemicu Amarah Warga Pati Tuntut Bupati Sudewo Lengser: Proyek Masjid Rp15 M, Pemangkasan Pegawai
"Kami hearing di DPRD 7 Mei, turun ke jalan 26 Juni, lalu 2 Agustus ajukan judicial review. Desember kami dapat jawaban, JR kami ditolak," ujar Juru Bicara Paguyuban Pelangi Cirebon, Hetta Mahendrati.
Hetta mengatakan, kenaikan PBB berdasarkan perda tersebut berlaku merata, dengan kisaran minimal 150 persen hingga 1.000 persen.
Bahkan, ia menemukan ada kasus ekstrem hingga 100.000 persen akibat kesalahan pemerintah, namun tetap dibebankan kepada warga.
"Tahun 2023 kita baru selesai pandemi, apakah bijak dinaikkan hingga 1.000 persen? Pemerintah bilang ekonomi naik 10 persen, tapi dari mana? Dari titik nol?" ucapnya.
Protes warga juga datang dari Paguyuban Masyarakat Cirebon (PAMACI).
Mereka berencana menggelar aksi damai pada 11 September 2025 dan membuka posko partisipasi untuk mengajak masyarakat terlibat.
"Semoga ini bisa berjalan dengan lancar dan saya hanya berharap masyarakat Cirebon bisa bersatu atau guyub dalam menghadapi permasalahan yang ada di Kota Cirebon," jelas Ketua Harian PAMACI Kota Cirebon, Adji Priatna.
Baca juga: Saya Dipilih Rakyat Bupati Pati, Sudewo Tak Bisa Mundur Meski Didemo 50 Ribu Warga Tetap Menjabat
Adji menilai Pemerintah Kota Cirebon terlalu fokus mengejar pendapatan dari pajak.
"Masih banyak sektor lain yang harus dibenahi, contoh lima BUMD kita, bobrok semua. Jadi itu yang mesti dipikirin dulu, jangan hanya pajak, pajak, dan pajak," tegas Adji.
Bantahan Wali Kota Cirebon
Wali Kota Cirebon, Effendi Edo menegaskan isu kenaikan PBB hingga 1.000 persen tidak sepenuhnya benar.
"Kalau kenaikan ada, tapi tidak sampai 1.000 persen," ujar Edo saat ditemui TribunJabar (grup SURYAMALANG.COM) di Balai Kota, Kamis (14/8/2025).
Edo menjelaskan, kebijakan kenaikan PBB itu sebenarnya sudah ditetapkan satu tahun lalu, jauh sebelum ia menjabat sebagai wali kota.
Ia yang baru lima bulan memimpin, mengaku sudah melakukan pembahasan internal terkait PBB sejak sebulan lalu untuk mencari solusi.
"Mudah-mudahan dalam minggu ini kita sudah tahu dan formulasi yang kita buat itu sesuai dengan keinginan masyarakat. Artinya ada perubahan, InsyaAllah," ucapnya.
Menurut Edo, formulasi kenaikan PBB berasal dari Kementerian Dalam Negeri yang memberikan delapan opsi.
Baca juga: Siapa Risma Ardhi Chandra? Sosok Pengganti Bupati Pati Sudewo Jika Benar Dimakzulkan
Opsi itu kemudian dipadukan oleh Pemerintah Kota Cirebon sehingga tarif yang berlaku bervariasi.
"Soal warga yang punya bukti PBB 2023 kemudian naik drastis di tahun berikutnya, monggo itu semuanya dari Depdagri."
"Itu kan ada delapan pilihan yang di-mix oleh pemerintah kota, jadi akan berbeda-beda," jelas dia.
Landasan hukum kebijakan ini adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 yang ditetapkan saat Kota Cirebon masih dipimpin Penjabat (Pj) Wali Kota.
Edo menyebut, desakan warga untuk mengubah perda tersebut harus melalui kajian mendalam.
"Sekarang saya sedang evaluasi itu bersama melakukan kajian-kajian juga. Kalau memang hasil evaluasi dan kajian menyatakan perlu diubah, ya tidak menutup kemungkinan," kata Edo.
"Saya terbuka sekali melakukan audiensi dengan masyarakat yang merasa terdampak," janjinya.
Kenaikan PBB di Jombang
Heri Dwi Cahyono (61), warga Desa Sengon, Kecamatan/Kabupaten Jombang mengaku kaget ketika menerima tagihan PBB untuk dua aset milik keluarganya.
Properti tersebut meliputi tanah seluas 1.042 meter persegi beserta rumah 174 meter persegi di Jalan dr Wahidin Sudiro Husodo, serta sebidang tanah 753 meter persegi di Dusun Ngesong VI.
Nilai pajak yang harus dibayar tahun ini melonjak hingga 1.202 persen dibanding 2023.
“Kalau naik wajar, tapi ini melompat sampai 12 kali lipat. Siapa yang harus bertanggung jawab kalau Bapenda sendiri mengakui datanya tidak sesuai?” ucap Heri saat dikonfirmasi pada Rabu (13/8/2025).
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jombang, Hartono, tak membantah adanya lonjakan signifikan.
Dari sekitar 700 ribu Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang beredar, separuh mengalami kenaikan, sedangkan sisanya justru turun.
Beberapa objek pajak bahkan tercatat naik hingga ribuan persen.
Hartono menjelaskan, perubahan tarif tersebut dipicu oleh penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdasarkan survei tim appraisal pada 2022.
Namun, hasil penilaian pihak ketiga itu ternyata tidak selalu selaras dengan kondisi nyata di lapangan.
“Sejak tahun ini kami melibatkan pemerintah desa untuk mendata ulang NJOP secara menyeluruh. Prosesnya ditargetkan selesai November 2024,” ungkapnya.
Meski begitu, hasil pendataan baru bisa digunakan untuk menghitung PBB tahun 2026.
Artinya, untuk 2024 dan 2025, warga tetap akan membayar pajak sesuai perhitungan lama yang dinilai bermasalah.
Kondisi ini membuat masyarakat berharap pemerintah daerah bergerak cepat agar beban pajak tak semakin memberatkan.
Aksi protes juga pernah dilayangkan ke Kantor Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Jombang pada Senin (11/8/2025).
Kantor Bapenda dipenuhi ratusan koin yang dibawa warga sebagai bentuk protes atas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Sejumlah warga mengaku keberatan karena tarif pajak melonjak drastis sejak 2024.
Kenaikan tersebut, menurut mereka, terlalu besar dan membebani perekonomian rumah tangga.
Salah satunya dialami Joko Fattah Rochim, warga Kecamatan Jombang, yang pajaknya naik dari Rp 300 ribu menjadi Rp 1,2 juta.
Untuk melunasi kewajiban itu, ia memecahkan celengan koin milik anaknya yang telah dikumpulkan sejak duduk di bangku SMP.
“Kalau naik sedikit itu wajar, tapi dari Rp 300 ribu langsung jadi Rp 1 juta lebih, jelas memberatkan. Uang ini hasil tabungan anak saya, tidak ada niat tawar-menawar pajak, hanya ingin membayar sesuai ketentuan,” ucap Fattah.
Kasus serupa dialami Munaji Prajitno dari Desa Sengon, dengan kenaikan hingga 1.202 persen pada salah satu objek pajaknya.
Hartono membenarkan bahwa penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) hasil survei appraisal tahun 2022 menjadi pemicu utama kenaikan, meski ia mengakui data di sejumlah titik tidak sepenuhnya sesuai kondisi lapangan.
Pendataan ulang NJOP telah dilakukan pada 2024 dan akan berlaku mulai 2026.
“Pendataan selesai November 2024, tapi belum bisa diterapkan di 2025. Jadi tarif tahun ini masih sama dengan tahun lalu,” ungkapnya.
Data Bapenda menunjukkan adanya lonjakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor PBB P2.
Pada 2023, realisasi penerimaan mencapai Rp 42.921.835.053 dari target Rp 43.208.802.624 atau 99 persen dari target.
Tahun 2024 realisasi PBB P2 sebesar Rp 51.613.332.991 dari target Rp 56.078.692.627 atau 92 persen dari target.
Serta terjadi kenaikan pendapatan sebesar Rp 8.691.497.938 dari tahun 2023.
Kemudian untuk realisasi pendapatan daerah dari PBB P2 tahun 2025 Sebesar 89 persen atau Rp 52.882.580.014 dari target Rp 59.231.188.664.
Capaian hingga bulan Agustus 2025 melonjak Rp 9.900.744.961 dari tahun 2023 lalu.
“Peningkatan PAD ini memang berkaitan langsung dengan kenaikan tarif PBB P2 sejak tahun lalu,” pungkas Hartono.
Respons Bupati Jombang
Menanggapi polemik tersebut, Bupati Jombang Warsubi menegaskan kebijakan kenaikan PBB bukanlah hasil keputusan pribadinya, melainkan pelaksanaan aturan yang telah disahkan sebelum dirinya menjabat.
Warsubi menjelaskan, kenaikan PBB P2 merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang diterapkan mulai 2024.
“Saya hanya melanjutkan kebijakan yang sudah ada. Fokus kami sekarang adalah mencari solusi bagi warga yang merasa keberatan,” ucapnya, Kamis (14/8/2025).
Untuk merespons keluhan, Pemkab Jombang membentuk tim khusus yang bertugas memproses pengajuan keringanan pajak.
Warga bisa mengajukan permohonan melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda).
Berdasarkan data Bapenda, pada 2024 tercatat 12.864 nomor objek pajak (NOP) mengajukan keberatan, 3.826 di antaranya permohonan perorangan dan 9.038 kolektif desa.
Hingga Agustus 2025, ada tambahan 4.171 NOP yang mengajukan keberatan, terdiri dari 1.596 perorangan dan 2.575 kolektif desa.
Kepala Bapenda Jombang Hartono menyampaikan, verifikasi keringanan dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi pemohon.
Penilaian mencakup biaya listrik, pengeluaran rumah tangga, pendapatan, hingga status sosial seperti pekerja harian atau janda.
Namun, di lapangan, lonjakan tarif ini tetap membuat banyak warga terkejut.
Terpisah, Direktur Lingkar Indonesia Jombang, Aan Anshori ikut menyoroti kenaikan PBB tersebut.
Aan menilai Bupati Jombang tak bisa lepas tangan, dengan alasan kebijakan tersebut merupakan warisan pemerintahan sebelumnya.
Aan menegaskan, pemimpin saat ini dipilih oleh rakyat, bukan oleh rezim lama.
“Warsubi dan K.H Salmanudin Yazid atau Gus Salman dipilih warga Jombang. Saat ini rakyat menjerit akibat kenaikan PBB, dan mereka harus bertanggung jawab,” ucapnya saat dikonfirmasi melalui sambungan seluler pada Kamis.
Menurutnya, kondisi ini menjadi momen penting bagi kepala daerah dan wakilnya untuk menunjukkan keberpihakan pada masyarakat.
Ia mempertanyakan, apakah mereka akan mengakomodasi aspirasi warga atau meneruskan kebijakan lama yang dinilai memberatkan.
“Di sinilah ujian mereka. Apakah setia pada rakyat atau justru pada kebijakan rezim sebelumnya yang mencekik lewat kenaikan pajak fantastis,” kata Aan melanjutkan.
Ia mendesak Pemkab Jombang mengembalikan tarif PBB mulai 2026 ke besaran sebelum kenaikan.
Jika tidak, Aan mengingatkan potensi perlawanan warga seperti aksi penolakan PBB di Kabupaten Pati.
“Kalau tidak, rakyat Jombang akan bergerak sebagaimana rakyat Pati,” tegasnya.
Tak hanya itu, Aan juga menyoroti peran DPRD Jombang.
Ia mengingatkan agar wakil rakyat tidak sekadar menjadi stempel kebijakan eksekutif.
“DPRD harus berpihak pada warga yang menolak kenaikan PBB, bukan terus mengamini keputusan bupati,” pungkasnya.
Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) di Kabupaten Jombang tahun 2024 membuat sejumlah warga kelimpungan.
Di beberapa kasus, lonjakan mencapai lebih dari seribu persen.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
tolak kenaikan PBB
protes kenaikan PBB
Jombang
PBB Jombang naik
PBB Kota Cirebon naik
Warsubi
Kota Cirebon
demo warga Pati
Sudewo
SURYAMALANG.COM
demo Pati
Pansus Hak Angket DPRD Pati
Sikap Gerindra Kadernya Sudewo Terancam Pemakzulan 50 Ribu Warga Pati Demo 'Jangan Tambah Beban' |
![]() |
---|
Cek Kalender 2025: Penanggalan Jawa Kamis Pon 14 Agustus 2025, Jumlah Neptu, Pasaran, Weton, Wuku |
![]() |
---|
Sopir Jip Bromo Kabur ke Jambi Usai Kecelakaan Masuk Jurang, Buron 3 Bulan Ditangkap Polres Malang |
![]() |
---|
Kondisi Penumpang KMP Gili Iyang, Alami Kebakaran di Perairan Karang Jamuang Menuju Bawean Gresik |
![]() |
---|
Cewek Korban Kasus Pelecehan Pasien Rumah Sakit Malang Disidik, Pengacara Dokter AY juga Surati LPSK |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.