"Kalau launching-nya tidak lewat sana, bisa kehilangan momen besar. Saya dorong agar rutenya mencakup Batu, Landungsari, Arjosari, dan terus ke Hamid Rusdi," sarannya.
Ia juga menyebutkan dengan memilih koridor utama seperti Jalan Soekarno Hatta, infrastruktur jalan di Malang masih memadai untuk dilalui bus berukuran sedang dengan kapasitas sekitar 35 penumpang.
Di sisi lain, ia bicara tentang dampak pengurangan kemacetan yang tidak bisa dirasakan instan.
Butuh waktu, bisa lima tahun.
"Tapi kalau dari awal sudah dilayani dengan baik, masyarakat akan beralih dan ini jadi prospek jangka panjang," prediksinya.
Namun, Prof Aji juga memberi catatan program Trans Jatim Malang Raya tidak boleh berhenti di tengah jalan, karena pergantian kebijakan atau pemangku jabatan.
Ia menegaskan agar program Trans Jatim tidak menjadi proyek pencitraan.
Menurutnya, harus ada keberlanjutan subsidi dan pola diversifikasi.
Model Scrapping untuk Angkot
Salah satu tantangan terbesar ialah keberadaan angkot konvensional.
Ia menyarankan pola scrapping, yakni konversi dari sistem lama ke sistem baru, baik dari sisi armada maupun pengemudinya.
"Supir lama direkrut ulang, tentunya lewat proses seleksi dan pelatihan. Ini untuk memastikan tidak ada gejolak. Model seperti ini sudah berhasil di daerah lain," ujar Aji.
Namun ia mengingatkan bahwa operator yang ingin terlibat harus punya modal kuat.
Dikatakannya, investasi per armada bisa mencapai Rp 1 miliar.
"Operasi minimal 3–6 bulan pertama butuh cadangan dana besar. Kalau tidak kuat, bisa kolaps," jelasnya.
Dengan pendekatan yang tepat dan dukungan berbagai pihak, ia optimistis Trans Jatim bisa menjadi tulang punggung transportasi publik di Malang Raya.
"Kalau peluncuran dilakukan dengan matang, saya yakin pola perjalanan masyarakat akan berubah. Tinggal menunggu waktu saja," katanya yakin.