Pelaku Thrifting Bersuara
Larangan Impor Pakaian Bekas Langkah Tepat Jaga Industri Tekstil, Pakar Ekonomi Unair Beri Solusi
Prof Dr. Rossanto Dwi Handoyo menilai langkah pemerintah sudah tepat dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang perekonomian nasional
“Ini menyebabkan pengawasan sulit dilakukan. Barang berkualitas rendah bisa saja diklaim sebagai barang bagus, sehingga rawan penyelundupan atau pengelabuhan,” jelasnya.
Baca juga: Minta Menkeu Purbaya Lebih Selektif, Bukan Melarang Total Import Pakaian Bekas
Soal Pedagang Kecil: Ada Dampak, Tapi Kepentingan Nasional Lebih Besar
Meski mengakui bahwa kebijakan pelarangan impor pakaian bekas akan berdampak bagi pelaku usaha thrifting skala kecil, Prof. Rossanto menegaskan bahwa kepentingan nasional tetap harus diutamakan.
“Memang benar, pedagang kecil akan terkena imbas. Tapi kita harus menimbang antara benefit dan cost. Ada keuntungan kecil bagi pedagang, tapi kerugian besar bagi negara, seperti hilangnya pajak industri dan kesempatan kerja,” paparnya.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa sebagian besar barang thrifting impor masuk secara ilegal dan tidak melalui proses uji kesehatan.
“Barang-barang ini masuk dalam sistem karungan, tanpa sertifikat kesehatan. Jadi risiko penyakit juga bisa muncul. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga kesehatan publik,” tegasnya.
Solusi: Transisi dan Dukungan bagi Industri Lokal
Sebagai solusi transisi, Prof. Rossanto menyarankan agar pemerintah memberi dukungan kepada industri tekstil dalam negeri, misalnya melalui subsidi atau pembebasan pajak, agar mampu bersaing dengan produk impor baru.
“Kalau barang dari luar 10 persen lebih murah, ya pemerintah bisa beri subsidi 10 persen bagi produsen lokal. Ini bentuk keberpihakan kepada industri kita,” jelasnya.
Ia juga menilai, kebijakan ini seharusnya disertai edukasi dan pendampingan bagi pelaku usaha kecil, agar mereka bisa beralih menjual produk-produk lokal.
“Pemerintah bisa berkoordinasi dengan pelaku industri dalam negeri dan memperkenalkan produk distro atau fesyen lokal yang kompetitif. Pedagang thrifting harus diarahkan agar menjual produk baru buatan Indonesia, bukan barang impor bekas,” ujarnya.
Menariknya, Prof. Rossanto menilai masih ada peluang besar di sektor fesyen lokal jika industri dalam negeri mampu membaca momentum ini.
“Sekarang kompetitor utama sudah tidak ada. Saatnya produk lokal bangkit. Kalau dulu sulit bergerak karena dibanjiri barang bekas impor, kini medan permainannya sudah sama,” jelasnya.
Ia menambahkan, jika masyarakat tetap ingin berbisnis barang bekas, maka sebaiknya memanfaatkan barang-barang bekas dari pasar domestik sendiri.
“Kalau barang bekas dari dalam negeri, tidak masalah. Karena itu bagian dari sirkulasi internal, bukan impor. Tapi tradisi jual beli pakaian bekas di Indonesia masih belum lazim,” katanya.
Menutup pandangannya, Prof. Rossanto menegaskan bahwa larangan impor pakaian bekas tidak akan menimbulkan masalah internasional, karena barang-barang seperti itu tidak termasuk dalam kesepakatan perdagangan bebas (FTA).
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/suryamalang/foto/bank/originals/Prof-Dr-Rossanto-Dwi-Handoyo-unair.jpg)