Breaking News

Jombang

Museum Potehi Gudo, 'Ruang Waktu' Kisah Wayang Tionghoa Menyatu dengan Jiwa Jawa di Kota Santri

Kesenian Potehi sudah tumbuh di Gudo, Jombang sejak tahun 1920-an, dibawa oleh para perantau dari Tiongkok Selatan.

Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM/Anggit Pujie Widodo
MUSEUM - Museum Potehi Gudo, Desa Gudo, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Sabtu (1/11/2025). Kesenian Potehi sudah tumbuh di Gudo sejak tahun 1920-an, dibawa oleh para perantau dari Tiongkok 

“Waktu itu hanya bisa dimainkan secara tertutup. Tapi masyarakat sini menghargai, jadi kami masih bisa melanjutkan secara sederhana,” ungkapnya.

Kebangkitan kembali terjadi pada era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Ketika pelarangan terhadap budaya Tionghoa dicabut, Potehi pun kembali tampil bebas. Sejak itu, pertunjukan boneka ini sering digelar di berbagai tempat, bahkan di lembaga pendidikan.


Dari Klenteng Gudo ke Panggung Dunia


Kehidupan Potehi di Gudo kini justru semakin bersinar. Tak hanya tampil di berbagai daerah di Indonesia, kelompok ini juga pernah diundang ke panggung internasional, seperti Jepang, Taiwan, dan Malaysia.

Dalam satu pertunjukan, Potehi dimainkan oleh lima orang, dua dalang dan tiga pengiring musik. Alunan tambur, gesekan alat musik tradisional, dan denting simbal berpadu menciptakan suasana dramatis yang khas.

Ceritanya pun bervariasi tentang kepahlawanan, cinta, hingga nilai moral yang universal.

“Sekarang banyak cerita kami sesuaikan dengan kondisi masa kini. Ada juga kisah lokal yang dibawa ke panggung luar negeri. Kami pernah tampil di UNESCO, membawa cerita rakyat Indonesia,” kata Toni. 

Baca juga: Kolektor dan Pelestari Wayang Potehi di Jombang, Kakeknya Dalang dari Hokkian, Tiongkok


Warisan yang Butuh Pelukan Bangsa


Bagi Toni, Potehi bukan sekadar peninggalan etnis Tionghoa, melainkan bagian dari kebudayaan Indonesia yang perlu dirawat bersama.

Ia berharap pemerintah memberi perhatian lebih agar seni ini bisa terus lestari dan dikenal generasi muda.

Museum Potehi Gudo menjadi saksi bagaimana identitas Tionghoa dan Jawa berpadu tanpa batas.

Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, boneka-boneka kecil itu masih menari membisikkan pesan tentang keberagaman, cinta budaya, dan kekuatan untuk tetap hidup di antara perubahan zaman.

“Wayang Potehi ini sudah ada di Indonesia sejak abad ke-17. Sudah menjadi bagian dari sejarah kita. Harapan saya, jangan lagi dianggap budaya asing. Ini sudah jadi milik bangsa,” harap Toni memungkasi. 

Sumber: Surya Malang
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved