Pertamina Oplos Pertamax dan Pertalite

5 TAHUN PERTAMINA Oplos Pertalite Jadi Pertamax: Riva Siahaan dan Yoki Firnandi Jadi Tersangka

Selama kurang lebih 5 tahun (2018-2023) PT Pertamina PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) oplos Pertalite jadi Pertamax.

Penulis: Iksan Fauzi | Editor: iksan fauzi
Kompas.com/Dimas Nanda Krisna/pertaminapatraniaga.com
KASUS KORUPSI PERTAMINA - Riva Siahaan (KANAN) Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga saat dikawal memasuki mobil tahanan setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah di Kejaksaan Agung, Jakarta, (25/2/2025). Foto Riva Siahaan (KIRI) di website perusahaan sebagai jajaran direktur. Diduga selama 5 tahun Pertamina oplos Pertalite jadi Pertamax hal ini menurut pakar otomotif UGM merusak mesin kendaraan. 

SURYAMALANG.COM | JAKARTA - Selama kurang lebih 5 tahun (2018-2023) PT Pertamina PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) oplos Pertalite jadi Pertamax.

Kasus Pertamina oplos Pertalite jadi Pertamax itu merugikan negara hingga mencapai Rp 193,7 triliun.

Kasus tersebut sedang ditangani Kejaksaan Agung yang menilai ada dugaan korupsi tata kelola minyak mentah, oplos Pertalite jadi Pertamax.

Pertalite adalah produk Pertamina jenis bahan bakar minyak (BBM) yang memiliki nilai oktan sebesar 90 atau RON 90.

Sedangkan Pertamax adalah jenis BBM yang memiliki oktan 92 atau disebut RON 92.

Jika kedua jenis BBM yang memiliki oktan berbeda itu dioplos, maka bisa mengakibatkan kerusakan pada mesin kendaraan.

Dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah ini, penyidik Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka.

Baca juga: SOSOK Riva Siahaan Dirut Pertamina Oplos Pertalite Jadi Pertamax, Korupsi Rp193,7 Triliun, Cek Harta

Ketujuh tersangka dugaan korupsi oplos Pertalite jadi Pertamax itu 4 orang petinggi dari anak usaha atau subholding Pertamina dan 3 broker, antara lain:

  1. Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS);

  2. Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF);

  3. Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS);

  4. VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono (AP).

  5. MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa (broker).

  6. DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim (broker).

  7. GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak (broker).

Dilansir dari keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian di-blend atau dioplos di depo/storage menjadi Pertamax.

Pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.

Baca juga: HARTA KEKAYAAN Tom Lembong Rp101 M Tapi Tak Punya Mobil dan Rumah, Perubahannya Mencolok Tiap Tahun

“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax),. Padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah, kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir pada Selasa (25/2/2025).

“Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.

Bisa merusak mesin kendaraan

Pakar otomotif Universitas Gadjah Mada (UGM) Jayan Sentanuhady mengatakan ada dampak yang akan dialami jika kendaraan memakai jenis BBM yang salah.

Ia mengungkapkan Pertalite seharusnya dipakai untuk mobil dengan kapasitas mesin di bawah 1.400 cc dan motor dengan kapasitas mesin di bawah 250 cc.

Sebaliknya, kendaraan berkapasitas mesin di atas 1.400 cc dan memiliki rasio kompresi tinggi atau teknologi canggih harus menggunakan Pertamax dengan oktan minimal 92.

Baca juga: PENAMPAKAN Uang Korupsi Impor Gula Setengah Triliun, Tom Lembong Dulu Menteri dan Lulusan Harvard

"Oktan yang rendah akan menyebabkan pembakaran tidak sempurna," kata Jayan saat dikonfirmasi Kompas.com (grup SURYAMALANG.COM), Selasa.

Ia juga menyebutkan kondisi pembakaran tidak sempurna itu berpotensi mengakibatkan terjadinya penyalaan dini pada mesin kendaraan.

Akibatnya, bisa terjadi knocking atau suara ketukan pada mesin.

Akibatnya akselerasi mesin turun dan merusak komponen kendaraan.

Selain itu, salah pakai BBM bisa membuat pembakaran mesin kurang efisien.

Tindakan itu juga membuat deposit berupa endapan karbon atau kerak yang menempel pada komponen mesin menjadi lebih banyak.

Akibatnya, berisiko merusak mesin kendaraan.

Baca juga: Alasan Tom Lembong Tak Dibebankan Kerugian Negara Kasus Korupsi Impor Gula, Padahal Total Miliaran

Meski risiko dari salah pakai jenis BBM untuk kendaraan cukup besar, Jayan menyatakan, masyarakat tidak perlu menguras atau memeriksakan kendaraannya ke bengkel.

Melanggar hak konsumen

Mantan Ketua Komisi Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rolas Sitinjak, menyebutkan, sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pihak penjual harus memberikan informasi yang jelas kepada konsumen.

Rolas menilai, dalam hal pemenuhan kebutuhan BBM, masyarakat telah memercayakan ini kepada pemerintah, yaitu Pertamina.

Namun, kasus dugaan korupsi justru ditemukan di salah satu anak perusahaan penyuplai BBM ini.

"Di benak masyarakat, negara seharusnya dipercaya 100 persen. Kalau bukan negara, siapa lagi yang akan dipercaya. Kalau dia melakukan penipuan publik, itu fatal," ujar Rolas kepada Kompas.com (grup SURYAMALANG.COM), Selasa (25/2/2025).

Rolas menekankan, pemerintah harus melakukan audit.

Sementara Wakil Ketua Komisi VI DPR Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio menilai kasus korupsi di anak perusahaan Pertamina itu bakal mencoreng kredibilitas BUMN.

"Praktik ini tidak hanya merugikan masyarakat dan negara, tetapi juga mencoreng kredibilitas BUMN kita," kata Eko saat dikonfirmasi, Selasa (25/2/2025).

Menurut Eko, ke depan BUMN perlu memperhatikan beberapa hal.

Pertama adalah penguatan pengawasan internal.

Eko menilai sistem pengawasan di anak usaha BUMN harus diperketat.

"Manajemen harus menerapkan ketentuan hukum yang berlaku secara menyeluruh terhadap tata kelola distribusi BBM untuk menutup celah yang memungkinkan praktik kecurangan seperti ini," ujarnya.

Tak hanya itu, Pertamina juga mesti meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

Eko mendorong Pertamina selaku BUMN untuk lebih terbuka dalam melaporkan kebijakan dan operasionalnya, terutama terkait tata kelola bahan bakar.

"Kami di Komisi VI akan meminta laporan lebih detail mengenai mekanisme kontrol yang diterapkan selama ini dan mengidentifikasi kelemahan yang perlu diperbaiki," ujar Eko.

Ketiga, dia menilai perlu ada sanksi tegas untuk internal BUMN yang terlibat korupsi.

"Tidak hanya pihak eksternal atau pelaku lapangan yang harus disalahkan. Jika ada oknum di dalam BUMN yang terbukti terlibat, mereka juga harus ditindak tegas untuk memberikan efek jera," kata Eko.

it total kepada PT Pertamina Patra Niaga atas kasus dugaan korupsi yang merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun.

"Menurut saya, ada SOP (standard operating procedure). Ini diperlukan audit total," lanjutnya.

Dia menilai, pemerintah harus melakukan audit total kepada semua hal yang berkaitan dengan Pertamina, bukan hanya penjualan BBM.

Hal lain yang bisa diaudit adalah urusan di kilang-kilang minyak yang bisa diperjualbelikan.

Respons Pertamina

PT Pertamina (Persero) memastikan distribusi energi ke masyarakat tetap berjalan normal meski empat petinggi anak usaha atau subholding ditetapkan menjadi tersangka.

"Di tengah proses tersebut, Pertamina memastikan bahwa layanan distribusi energi kepada masyarakat di seluruh Indonesia tetap berjalan lancar," ujar VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso dalam keterangannya, Selasa (25/2/2025).

"Pertamina juga menjamin pelayanan distribusi energi kepada masyarakat tetap menjadi prioritas utama dan berjalan normal seperti biasa," imbuh dia.

Fadjar juga membantah tudingan adanya bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax yang dioplos dengan BBM jenis Pertalite, sekaligus memastikan bahwa Pertamax yang beredar di masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.

“Narasi oplosan itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan Kejaksaan,” ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso ketika ditemui di Gedung DPD RI, Jakarta, dikutip dari Antara, Rabu (26/2/2025).

Menurut Fadjar, terdapat narasi yang keliru ketika memahami pemaparan oleh Kejaksaan Agung.

Fadjar menjelaskan bahwa yang dipermasalahkan oleh Kejaksaan Agung adalah pembelian RON 90 dan RON 92, bukan terkait adanya oplosan Pertalite menjadi Pertamax.

Fadjar menegaskan bahwa produk Pertamax yang sampai ke masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.

Terkait penetapan para petinggi subholding menjadi tersangka, Fadjar mengatakan, Pertamina menghormati langkah Kejagung dan aparat penegak hukum lainnya yang menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang berjalan di subholding Pertamina.

"Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah," kata dia.

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved