Pertamina Oplos Pertamax dan Pertalite

SOSOK Riva Siahaan Dirut Pertamina Oplos Pertalite Jadi Pertamax, Korupsi Rp193,7 Triliun, Cek Harta

Sosok Riva Siahaan Dirut Pertamina oplos Pertalite jadi Pertamax, korupsi Rp193,7 triliun cek harta kekayaannya.

|
Kompas.com/Dimas Nanda Krisna/pertaminapatraniaga.com
KASUS KORUPSI PERTAMINA - Riva Siahaan (KANAN) Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga saat dikawal memasuki mobil tahanan setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah di Kejaksaan Agung, Jakarta, (25/2/2025). Foto Riva Siahaan (KIRI) di website perusahaan sebagai jajaran direktur. 

Kasus ini bermula dari kebijakan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 yang mewajibkan PT Pertamina memprioritaskan pasokan minyak dari dalam negeri.

Namun, PT Kilang Pertamina Internasional diduga tidak mematuhi aturan tersebut dan lebih memilih mengimpor minyak mentah.

Akibatnya, ada indikasi pelanggaran yang menyebabkan kerugian bagi negara.

Mekanisme Oplos

Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Kejagung mengungkap tersangka Riva Siahaan melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92. 

Padahal, sebenarnya, Riva Siahaan hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah, kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.

Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, Kejagung juga menemukan fakta adanya mark up kontrak shipping (pengiriman).

Mark up pengiriman dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen secara melawan hukum dan tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut. 

"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN," ungkap Kejagung.  

Beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, dengan rincian kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun.

Kemudian, kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp 2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp 9 triliun, kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp 126 triliun dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp 21 triliun.

Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo.

Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. 

Tanggapan Pertamina

PT Pertamina menyatakan akan menghormati proses hukum yang berjalan dan berkomitmen untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus ini.

“Kami mendukung upaya pemberantasan korupsi dan berharap proses hukum berjalan sesuai ketentuan yang berlaku,” ujar VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso.

(Tribunnews.com/Kontan.co.id/Kompas.com/Kompas.com)

Ikuti saluran SURYA MALANG di >>>>> WhatsApp 

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved