Kota Malang

Festival Inklusif UM Soroti Tantangan Difabel dalam Akses Dunia Kerja

Festival ini bukan sekadar ajang pameran, melainkan media membuka mata publik dan dunia industri bahwa penyandang disabilitas memiliki potensi besar

Penulis: Benni Indo | Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM/BENNI INDO
FESTIVAL INKLUSI UM - Suasana kemeriahan Festival Inklusi Universitas Negeri Malang di Outdoor Learning Space, Kamis (9/10/2025). Juru bicara festival, Diyah Sulistiyorini, mengatakan festival yang sudah digelar untuk kali kedua ini bertujuan membangun sinergi antara dunia pendidikan, komunitas, dan industri agar semakin banyak ruang terbuka bagi penyandang disabilitas untuk berkarier secara setara. 

Jesslyn Alvina Limanto (23), mahasiswa Ilmu Komunikasi semester lima yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua komunitas Akar Tuli mengatakan, akses penyandang disabilitas, khususnya tuli, terhadap dunia kerja masih jauh dari kata inklusif.

Menurut Jesslyn, banyak perusahaan masih ragu menerima pekerja tuli karena dianggap tidak mampu berkomunikasi secara efektif. 

Padahal, kata dia, hambatan utama justru berasal dari kurangnya pemahaman dan kesiapan lingkungan kerja, bukan dari keterbatasan penyandang disabilitas itu sendiri.

“Pengalaman saya melamar kerja di Jakarta, saya tidak pernah dipanggil karena status tuli. Mereka tidak tahu seperti apa saya orangnya. Perusahaan takut saya tidak bisa komunikasi,” ungkap Jesslyn, Kamis (9/10/2025).

Ia menilai, sejak jenjang sekolah menengah atas, penyandang disabilitas sudah diarahkan untuk menonjolkan kemampuan dan kemandirian.

Namun, peluang diterima di dunia kerja tetap kecil karena masih minimnya kesadaran perusahaan terhadap tenaga kerja difabel.

“Beberapa teman saya juga sulit dapat kerja. Perusahaan belum punya kesadaran. Kesempatannya kecil,” ujarnya.

Meski sempat menghadapi penolakan saat magang karena kendala komunikasi, Jesslyn tak menyerah.

Ia kemudian memanfaatkan media sosial profesional LinkedIn untuk memperkenalkan diri dan menunjukkan kemampuan.

Langkah itu membuahkan hasil, ia akhirnya mendapat tawaran magang hingga dikontrak sebagai asisten direktur sekaligus desainer grafis.

“Sebelum kuliah di UB, saya magang dan lalu dikontrak setahun. Mereka yang menawarkan setelah melihat postingan saya di LinkedIn,” tuturnya.

Bagi Jesslyn, kesempatan bekerja bukan hanya soal penghasilan, tetapi juga pembuktian bahwa penyandang tuli mampu beradaptasi dengan lingkungan profesional.

Ia berharap semakin banyak perusahaan membuka diri dan menyediakan fasilitas, termasuk penerjemah bahasa isyarat, agar komunikasi bisa berjalan efektif di tempat kerja.

“Untuk wawancara saja butuh interpreter. Kalau sudah kerja, biasanya langsung bisa terbiasa,” katanya.

Jesslyn berharap ke depan dunia industri lebih inklusif dan tidak lagi menjadikan disabilitas sebagai alasan untuk menolak kemampuan seseorang.

“Kami hanya butuh kesempatan dan lingkungan yang mau memahami cara kami berkomunikasi,” pungkasnya. (Benni Indo)

Sumber: Surya Malang
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved