Kota Malang

PSEL Butuh Dana Rp 500 Miliar, Pemkot Malang Bisa Pilih Alternatif Program LSDP

Pemkot Malang menyiapkan alternatif melalui program Local Service Delivery Program (LSDP) yang menghasilkan Refuse Derived Fuel

Penulis: Benni Indo | Editor: Eko Darmoko
SURYAMALANG.COM/Benni Indo
MENGOLAH SAMPAH - Pekerja melintas di tumpukan sampah yang akan diolah di TPA Supiturang, Kota Malang, Jumat (17/10/2025). Rencana pembangunan fasilitas PSEL di Kota Malang berpotensi tertunda akibat kebutuhan anggaran yang sangat besar, mencapai sekitar Rp 500 miliar. 

SURYAMALANG.COM, MALANG - Rencana pembangunan fasilitas Pengelolaan Sampah Energi Listrik (PSEL) di Kota Malang berpotensi tertunda akibat kebutuhan anggaran yang sangat besar, mencapai sekitar Rp 500 miliar.

Pemkot Malang kini menyiapkan alternatif melalui program Local Service Delivery Program (LSDP) yang menghasilkan Refuse Derived Fuel (RDF).

Cara ini dinilai lebih efisien dan sesuai dengan kapasitas timbulan sampah di daerah tersebut.

Plh Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Malang, Gamaliel Raymond Hatigoran, menjelaskan bahwa PSEL semula dirancang dengan kapasitas pengolahan 1.000 ton per hari.

Namun dalam perkembangannya, kapasitas tersebut naik menjadi 2.000 ton karena menyesuaikan kebutuhan mesin.

Kenaikan kapasitas itu berdampak langsung pada membengkaknya kebutuhan biaya.

“Kalau untuk yang PSEL itu bisa sampai Rp 500 miliar bahkan lebih, karena kebutuhan mesin dan pengolahannya besar,” ujar Gamaliel Raymond Hatigoran kepada SURYAMALANG.COM, Jumat (17/10/2025).

Baca juga: Ada Pelebaran Jalan di Kedungkandang, Dishub Kota Malang Siapkan Rekayasa Lalin Urai Kemacetan

Dengan besarnya biaya tersebut, Pemkot Malang mempertimbangkan opsi lain, yakni LSDP atau RDF (Refuse Derived Fuel), yaitu sistem pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif.

Berdasarkan kajian tahun 2023, nilai investasi LSDP hanya sekitar Rp 50 miliar, dan kini diperkirakan di atas Rp 200 miliar.

Menurut Raymond, program LSDP juga berpeluang mendapat pendanaan penuh dari pemerintah pusat melalui skema Danantara, tanpa perlu penyertaan modal daerah.

“Kalau dari hasil kajian memungkinkan, maka pelaksanaannya bisa dilakukan pada tahun 2027. Namun kita masih menunggu keputusan dari pemerintah pusat,” katanya.

Selain efisiensi anggaran, Raymond menilai kebutuhan timbulan sampah di Kota Malang juga belum mencukupi untuk mendukung proyek LSDP berskala besar.

Setiap harinya, jumlah sampah di Kota Malang sekitar 514 ton, dengan sebagian telah dikelola di TPS maupun TPA.

“Untuk kapasitas 2.000 ton itu belum memungkinkan. Tapi kalau 1.000 ton masih bisa, apalagi berdasarkan kesepakatan tiga kepala daerah di Malang Raya, Kota Malang siap menjadi tuan rumah dan menerima tambahan sampah dari kabupaten,” jelasnya.

Meski demikian, dengan kondisi saat ini, Pemkot Malang lebih realistis menyiapkan LSDP yang hanya mengandalkan sampah dari dalam kota.

“LSDP ini kebutuhannya cukup dari sampah Kota Malang saja, dan dari sisi anggaran juga lebih efisien,” pungkas Gamaliel.

Gatut Panggah Prasetyo, Pejabat Bidang Wilayah III Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup Jawa menegaskan bahwa sebelum melangkah ke PSEL, pemerintah daerah perlu menimbang skema pengolahan alternatif berupa Limbah Sampah Diolah menjadi RDF (LSDP).

Program ini dinilai lebih realistis dan sesuai kapasitas timbulan sampah Kota Malang.

“Kalau memang pengolahan sampahnya tidak terlalu besar, lebih baik mengarah ke RDF."

"Tapi kalau kapasitas dan kepentingannya besar hingga bisa memenuhi syarat efisiensi pemasaran listrik, barulah PSEL bisa dipertimbangkan,” ujar Gatut, Jumat (17/10/2025).

Menurutnya, pembangunan PSEL termasuk dalam proyek strategis nasional yang menuntut kehati-hatian dalam investasi.

Pengelolaan sampah menjadi energi listrik memerlukan peran banyak pihak. Mulai dari pemerintah daerah, investor, hingga pihak swasta yang nantinya memasarkan hasil energi listrik.

“Kita harus multipihak dalam menghitung ini. Jangan sampai sudah investasi besar, tapi pemasarannya tidak bisa jalan. Itu bisa jadi proyek yang berhenti di tengah jalan,” tegasnya.

Gatut menambahkan, Kementerian saat ini tengah menilai kelayakan Kota Malang sebagai lokasi penerapan program LSDP yang menghasilkan RDF.

Skema tersebut akan menggunakan anggaran Danantara dari pemerintah pusat.

RDF dinilai lebih efisien karena hasil pengolahannya dapat langsung dimanfaatkan oleh industri, terutama pabrik semen yang sudah memiliki infrastruktur pendukung.

“Beberapa daerah sudah menjalankan RDF, seperti di Sukabumi dan TPA Benowo, Surabaya."

"Kedua lokasi itu menjadi contoh praktik pengelolaan sampah yang efisien tanpa membebani daerah dengan investasi raksasa,” jelasnya.

Ia menegaskan kembali bahwa pembangunan PSEL sebaiknya menjadi opsi terakhir.

Selain karena kebutuhan investasi yang mencapai ratusan miliar, proyek tersebut juga berisiko tinggi jika tidak memenuhi skala ekonomi yang memadai.

“Pesan kami sederhana, jangan sampai ada kerugian investasi. Lebih baik menyiapkan langkah realistis seperti RDF yang sudah terbukti berjalan di beberapa daerah,” pungkas Gatut.

Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved