2 Putusan MK: Polisi Aktif Dilarang Duduki Jabatan Sipil, Tolak Kapolri Dijadikan Setingkat Menteri

2 Putusan MK: polisi aktif dilarang duduki jabatan sipil, tolak jabatan Kapolri dijadikan setingkat menteri, berikut penjelasan hingga alasannya.

Tribun Jabar/Gani Kurniawan/Tribunnews.com/Mario Sumampow bawati
MK SOAL POLISI - Sidang pengucapan sejumlah putusan di Mahkamah Konstitusi (KIRI), Kamis (13/11/2025). Ilustrasi Polri (KANAN). MK menegaskan, Kapolri tidak lagi bisa menugaskan polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil di luar institusi kepolisian, kecuali mereka sudah mengundurkan diri atau pensiun. 

Ketua MK Suhartoyo menyatakan, permohonan para pemohon dikabulkan seluruhnya.

Hakim konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam penjelasan pasal tersebut justru menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum.

Saat ini, banyak anggota polisi aktif yang rangkap jabatan, menduduki posisi strategis tersebar di berbagai Lembaga atau institusi sipil.  

Termasuk di antaranya di lembaga Komisi Perantasan Korupsi (KPK) yang sebelumnya tidak boleh sama sekali mendaftar komisioner, sebelum dipastikan berstatus pensiunan.

2. Tolak Kapolri Dijadikan Setingkat Menteri

MK juga menolak permintaan agar jabatan Kapolri dijadikan setingkat menteri.

Permintaan ini diajukan oleh tiga mahasiswa melalui perkara nomor 19/PUU-XXIII/2025.

Mereka ingin agar pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan dengan alasan yang jelas dan sah, seperti masa jabatan presiden berakhir atau Kapolri memasuki masa pensiun.

Mereka juga ingin agar Kapolri diangkat kembali oleh presiden baru setelah pergantian pemerintahan.

Namun MK menilai, menjadikan Kapolri setingkat menteri tidak sesuai dengan peran Polri sebagai alat negara.

Jika Kapolri menjadi bagian dari kabinet, maka ia bisa terlalu dipengaruhi oleh kepentingan politik presiden.

MK menegaskan bahwa Polri harus tetap berdiri di atas semua kepentingan, termasuk kepentingan politik, demi menjaga keamanan dan penegakan hukum.

Baca juga: Ratusan Warga Nganjuk Ubah Status Agama jadi Penganut Kepercayaan, Memungkinkan Sesuai Putusan MK

Oleh karena itu, MK menyatakan bahwa aturan yang ada saat ini masih relevan dan tidak perlu diubah.

Hakim konstitusi Arsul Sani mengatakan, langkah atau upaya menggeser posisi jabatan Kapolri tersebut adalah tidak sejalan dengan keberadaan Polri sebagai alat negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.

Arsul menjelaskan, tidak dicantumkannya frasa “setingkat menteri” dalam UU 2/2002, menurut Mahkamah, karena pembentuk undang-undang telah memaknai penempatan posisi Polri dalam sistem ketatanegaraan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. 

Sehingga, menurut Mahkamah, dengan memberi label “setingkat menteri”, kepentingan politik presiden akan dominan menentukan seorang Kapolri.

Sumber: Surya Malang
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved